News Details

Penyakit DBD: Penyakit Setengah Abad, Kita Tetap Kalah

Info
dikirim pada Dec 10, 2025 12:00 AM
oleh: dr. Rini Astuty

Setiap kali musim penghujan datang, alarm bahaya kembali berbunyi : demam berdarah dengue (DBD) kembali menelan korban.

Demam berdarah dengue atau DBD adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang menyebabkan penderitanya mengalami demam tinggi selama beberapa hari. Penderita perlu mewaspadai kondisi ini, terutama saat demam sudah mulai turun. Hal tersebut bukan menandakan penderita telah sembuh, melainkan fase kritis dari DBD yang berisiko menyebabkan komplikasi berbahaya. Komplikasi DBD dapat mengakibatkan kerusakan organ, seperti hati, jantung, dan paru-paru.

Nyamuk Aedes aegypti cukup mudah dikenali dari warnanya yang belang hitam-putih dan memiliki ciri fisik kecil. Nyamuk ini tidak suka mendiami tempat yang kotor, melainkan menyasar tempat-tempat bersih, seperti bak mandi, vas bunga, talang air, atau tempat minum hewan peliharaan. Tapi tidak semua nyamuk Aedes aegypti menyebabkan DBD. Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang terinfeksi virus dengue yang dapat menularkannya kepada manusia melalui gigitan. Jika nyamuk betina tersebut tidak membawa virus dengue, gigitannya tidak akan menyebabkan penyakit demam berdarah. 

Sudah lebih dari lima dekade penyakit ini mewarnai sejarah kesehatan Indonesia, namun hingga kini, kita seolah masih berada dalam kondisi yang sama. Nyamuk Aedes aegypti, musuh kecil yang merupakan sumber kekalahan kita terhadap penyakit tropis. Setengah abad sudah, tapi perang ini belum juga dimenangkan.

Menurut data Kementerian Kesehatan, kasus DBD masih ditemukan di lebih dari 400 kabupaten/kota setiap tahunnya. Tahun demi tahun, tren kasus masih fluktuatif dan tidak pernah benar-benar mencapai titik nol meskipun upaya pengendalian terus dilakukan. Di banyak daerah, kasus DBD masih menjadi ancaman tahunan yang muncul seperti badai musiman.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, sepanjang Januari hingga Agustus 2025 tercatat 5.593 kasus DBD. Jumlah terbanyak ditemukan di Kota Makassar dengan 1.012 kasus, disusul Kabupaten Bulukumba 604 kasus, dan Kabupaten Takalar 543 kasus. Adapun jumlah kematian akibat DBD pada periode tersebut sebanyak tujuh orang. Kasus kematian terjadi di Kabupaten Takalar (4 kasus), Jeneponto (1 kasus), Sidrap (1 kasus), dan Luwu Timur (1 kasus). Jumlah ini kemungkinan akan terus meningkat seiring berjalannya waktu dan dengan adanya laporan kasus baru hingga akhir 2025. 

“Awalnya saya kira cuma demam biasa, tapi waktu tubuhnya mulai muncul bintik-bintik merah dan panasnya tak turun. Kami baru tahu itu DBD setelah hampir terlambat,” katanya pelan, menggenggam tangan anaknya yang dingin.

Cerita seperti ini adalah kisah nyata dari banyak keluarga Indonesia yang setiap tahunnya berhadapan dengan penyakit yang sama, dengan ketakutan yang sama, dan sering kali dengan penyesalan yang sama.

Mengatasi DBD memerlukan pendekatan multisektor yang melibatkan pemerintah, tenaga medis, dan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat secara konsisten dan berkelanjutan. Jadi tidak hanya ada pada dunia medis, tetapi juga pada perilaku sosial. DBD bukan hanya soal nyamuk, tetapi soal manusia. Kita tahu jentik hidup di air bersih, tapi tetap membiarkan wadah air terbuka. Kita tahu pentingnya PSN 3M Plus : Pemberantasan Sarang Nyamuk menguras, menutup, dan mengubur  atau mendaur ulang barang bekas yang dapat menyebabkan air menggenang dan pencegahan tambahan lainnya, tapi kita masih sering menundanya.

Faktor lingkungan dan perubahan iklim juga memperumit keadaan. Suhu yang kian hangat dan curah hujan yang tidak menentu membuat siklus hidup Aedes aegypti semakin cepat. Kini, nyamuk itu bisa berkembang biak bahkan di tempat sekecil tutup botol yang berisi air hujan.

Kalau dulu musim DBD hanya di awal tahun, sekarang hampir sepanjang tahun. Kita melawan makhluk kecil yang sangat adaptif, tapi dengan perilaku yang tidak berubah.

Upaya pemerintah dan masyarakat terus berjalan, Program “Satu Rumah Satu Jumantik”, yang melibatkan warga untuk memantau jentik di rumah sendiri, menjadi salah satu langkah nyata yang menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil.

Di beberapa kota, inovasi juga mulai tumbuh, pemberian larvasida adalah metode pemberantasan nyamuk dengan menaburkan bubuk abate atau pembunuh jentik nyamuk lainnya ke dalam tempat-tempat penampungan air. Program pelepasan nyamuk ber-Wolbachia, juga menjadi angin segar dalam penanggulangan DBD. Wolbachia, bakteri alami yang membuat nyamuk tidak bisa menularkan virus dengue, kini sudah diuji coba di kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul menunjukkan hasil menggembirakan, Mampu menekan kasus DBD di wilayah uji hingga 77 persen. Sebagai upaya pencegahan DBD, kini tersedia juga Vaksin Dengue yang bisa didapatkan di rumah sakit tertentu. Meskipun demikian, penggunaan teknologi nyamuk ber-Wolbachia dan lainnya tidak menggantikan metode pencegahan DBD yang telah diterapkan sebelumnya. Masyarakat tetap harus aktif untuk melakukan PSN 3M Plus di sekitar tempat tinggal, lingkungan kerja, maupun lingkungan sehari-hari.

 

 

Lebih dari 50 tahun sejak kasus pertama DBD tercatat di Indonesia pada 1968, penyakit ini telah menjadi semacam cermin: ia memperlihatkan siapa kita sebenarnya dalam menghadapi masalah publik. Apakah kita reaktif atau preventif? Apakah kita peduli atau sekadar menunggu?

Setiap kali kasus datang, kita menggugat pemerintah, mencari vaksin, menyalahkan iklim. Tapi mungkin, sebagian dari jawabannya justru ada di rumah kita sendiri, di bak mandi, di pot bunga, di tumpukan kaleng bekas. Keberadaan dan penyebaran DBD mencerminkan tingkat kesadaran kolektif terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan. 

Dengan demikian, kasus DBD memaksa kita untuk bercermin dan melihat sejauh mana tanggung jawab individu dan kolektif telah dijalankan dalam menjaga kesehatan lingkungan. Penyakit ini menjadi pengingat bahwa kesehatan lingkungan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah atau petugas kesehatan semata. 

Kita memang belum menang, tapi bukan berarti tak bisa. Kita baru saja melewati badai Covid 19 dan itu membuktikan kalau kita punya kemampuan untuk itu. Kalau kita melihat ke masa lalu,  juga banyak penyakit besar berhasil ditaklukkan bukan hanya dengan obat, tetapi dengan kepedulian bersama. DBD adalah ujian panjang bagi bangsa ini, ujian yang menuntut kolaborasi antara pemerintah, masyarakat dan kepedulian .

Setiap nyamuk yang mati karena air dikuras, setiap nyawa yang diselamatkan karena kita peduli, adalah kemenangan kecil yang patut diapresiasi. Karena kemenangan besar selalu dibangun dari kepedulian-kepedulian kecil yang konsisten.

Dan mungkin, dari kesadaran seperti itulah, perang setengah abad melawan DBD akhirnya bisa berakhir, bukan dengan senjata, tapi dengan kepedulian.

KOMENTAR

Tinggalkan Pesan





Ada yang bisa kami bantu?