News Details
Penyakit DBD: Penyakit Setengah Abad, Kita Tetap Kalah
Setiap kali musim penghujan
datang, alarm bahaya kembali berbunyi : demam berdarah dengue (DBD) kembali
menelan korban.
Demam berdarah dengue atau
DBD adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang
menyebabkan penderitanya mengalami demam tinggi selama beberapa hari. Penderita
perlu mewaspadai kondisi ini, terutama saat demam sudah mulai turun. Hal tersebut
bukan menandakan penderita telah sembuh, melainkan fase kritis dari DBD yang
berisiko menyebabkan komplikasi berbahaya. Komplikasi DBD dapat mengakibatkan
kerusakan organ, seperti hati, jantung, dan paru-paru.
Nyamuk Aedes aegypti
cukup mudah dikenali dari warnanya yang belang hitam-putih dan memiliki ciri
fisik kecil. Nyamuk ini tidak suka mendiami tempat yang kotor, melainkan
menyasar tempat-tempat bersih, seperti bak mandi, vas bunga, talang air, atau tempat
minum hewan peliharaan. Tapi tidak semua nyamuk Aedes
aegypti menyebabkan DBD. Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang
terinfeksi virus dengue yang dapat menularkannya kepada manusia melalui
gigitan. Jika nyamuk betina tersebut tidak membawa virus dengue,
gigitannya tidak akan menyebabkan penyakit demam berdarah.
Sudah lebih dari lima
dekade penyakit ini mewarnai sejarah kesehatan Indonesia, namun hingga
kini, kita seolah masih berada dalam kondisi yang sama. Nyamuk Aedes aegypti,
musuh kecil yang merupakan sumber kekalahan kita terhadap penyakit tropis. Setengah
abad sudah, tapi perang ini belum juga dimenangkan.
Menurut data Kementerian
Kesehatan, kasus DBD masih ditemukan di lebih dari 400 kabupaten/kota setiap
tahunnya. Tahun demi tahun, tren kasus masih
fluktuatif dan
tidak pernah benar-benar mencapai titik nol meskipun upaya pengendalian terus dilakukan. Di banyak daerah, kasus
DBD masih menjadi ancaman tahunan yang muncul seperti badai musiman.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi
Selatan, sepanjang Januari hingga Agustus 2025 tercatat 5.593 kasus DBD. Jumlah
terbanyak ditemukan di Kota Makassar dengan 1.012 kasus, disusul Kabupaten
Bulukumba 604 kasus, dan Kabupaten Takalar 543 kasus. Adapun jumlah kematian
akibat DBD pada periode tersebut sebanyak tujuh orang. Kasus kematian terjadi
di Kabupaten Takalar (4 kasus), Jeneponto (1 kasus), Sidrap (1 kasus), dan Luwu
Timur (1 kasus). Jumlah ini kemungkinan akan terus meningkat seiring berjalannya
waktu dan dengan adanya laporan kasus baru hingga akhir 2025.
“Awalnya saya kira cuma
demam biasa, tapi waktu tubuhnya mulai muncul bintik-bintik merah dan panasnya
tak turun. Kami baru tahu itu DBD setelah hampir terlambat,” katanya pelan,
menggenggam tangan anaknya yang dingin.
Cerita seperti ini adalah kisah
nyata dari banyak keluarga Indonesia yang setiap tahunnya berhadapan dengan
penyakit yang sama, dengan ketakutan yang sama, dan sering kali dengan
penyesalan yang sama.
Mengatasi DBD memerlukan pendekatan
multisektor yang melibatkan pemerintah, tenaga medis, dan partisipasi aktif
seluruh lapisan masyarakat secara konsisten dan berkelanjutan. Jadi tidak hanya ada pada dunia medis, tetapi juga pada perilaku sosial.
DBD bukan hanya soal nyamuk, tetapi soal manusia. Kita tahu jentik hidup di air
bersih, tapi tetap membiarkan wadah air terbuka. Kita tahu pentingnya PSN 3M
Plus : Pemberantasan Sarang Nyamuk menguras, menutup, dan mengubur atau mendaur ulang
barang bekas yang dapat menyebabkan air menggenang dan pencegahan tambahan lainnya, tapi kita masih sering
menundanya.
Faktor lingkungan dan
perubahan iklim juga memperumit keadaan. Suhu yang kian hangat dan curah hujan
yang tidak menentu membuat siklus hidup Aedes aegypti semakin cepat.
Kini, nyamuk itu bisa berkembang biak bahkan di tempat sekecil tutup botol yang
berisi air hujan.
Kalau dulu musim DBD hanya
di awal tahun, sekarang hampir sepanjang tahun. Kita melawan makhluk kecil yang
sangat adaptif, tapi dengan perilaku yang tidak berubah.
Upaya pemerintah dan
masyarakat terus berjalan, Program “Satu Rumah Satu Jumantik”, yang melibatkan
warga untuk memantau jentik di rumah sendiri, menjadi salah satu langkah nyata
yang menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil.
Di beberapa kota, inovasi juga mulai tumbuh, pemberian
larvasida adalah metode pemberantasan nyamuk dengan menaburkan bubuk abate atau
pembunuh jentik nyamuk lainnya ke dalam tempat-tempat penampungan air. Program pelepasan nyamuk
ber-Wolbachia, juga menjadi angin segar dalam penanggulangan DBD. Wolbachia,
bakteri alami yang membuat nyamuk tidak bisa menularkan virus dengue, kini
sudah diuji coba di kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul menunjukkan hasil
menggembirakan, Mampu menekan kasus DBD di wilayah uji hingga 77 persen.
Sebagai upaya pencegahan DBD, kini tersedia juga Vaksin Dengue yang bisa
didapatkan di rumah sakit tertentu. Meskipun demikian, penggunaan teknologi nyamuk
ber-Wolbachia dan lainnya tidak menggantikan metode pencegahan DBD yang telah
diterapkan sebelumnya. Masyarakat tetap harus aktif untuk melakukan PSN 3M Plus
di sekitar tempat tinggal, lingkungan kerja, maupun lingkungan sehari-hari.
Lebih dari 50 tahun sejak kasus pertama DBD tercatat di Indonesia pada
1968, penyakit ini telah menjadi semacam cermin: ia memperlihatkan siapa kita
sebenarnya dalam menghadapi masalah publik. Apakah kita reaktif atau preventif?
Apakah kita peduli atau sekadar menunggu?
Setiap kali kasus datang,
kita menggugat pemerintah, mencari vaksin, menyalahkan iklim. Tapi mungkin,
sebagian dari jawabannya justru ada di rumah kita sendiri, di bak mandi, di pot
bunga, di tumpukan kaleng bekas. Keberadaan dan penyebaran DBD mencerminkan
tingkat kesadaran kolektif terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Dengan demikian, kasus DBD memaksa
kita untuk bercermin dan melihat sejauh mana tanggung jawab individu dan
kolektif telah dijalankan dalam menjaga kesehatan lingkungan. Penyakit ini
menjadi pengingat bahwa kesehatan lingkungan adalah tanggung jawab bersama,
bukan hanya pemerintah atau petugas kesehatan semata.
Kita memang belum menang,
tapi bukan berarti tak bisa. Kita baru saja melewati badai Covid 19 dan
itu membuktikan kalau kita punya kemampuan untuk itu. Kalau kita melihat ke
masa lalu, juga banyak penyakit besar
berhasil ditaklukkan bukan hanya dengan obat, tetapi dengan kepedulian bersama.
DBD adalah ujian panjang bagi bangsa ini, ujian yang menuntut kolaborasi antara
pemerintah, masyarakat dan kepedulian .
Setiap nyamuk yang mati
karena air dikuras, setiap nyawa yang diselamatkan karena kita peduli, adalah
kemenangan kecil yang patut diapresiasi. Karena kemenangan besar selalu
dibangun dari kepedulian-kepedulian kecil yang konsisten.
Dan mungkin, dari kesadaran seperti itulah, perang setengah abad melawan DBD akhirnya bisa berakhir, bukan dengan senjata, tapi dengan kepedulian.
Latest Artikel
- Penyakit DBD: Penyakit Setengah Abad, Kita Tetap Kalah
- Pentingnya K3 Adaptif bagi Petugas Balai Besar Kekarantinaan Kesehatan Makassar di Point of Entry
- All Indonesia Babak Baru Dalam Deklarasi Kesehatan
- Menjaga Kesehatan Optimal di Akhir Tahun : Strategi Menghadapi Musim Hujan Lebat
- Gambaran Surveilans Sentinel Influenza Like Illness (ILI) di Balai Besar Kekarantinaan Kesehatan Makassar Tahun 2024 s.d. Oktober 2025