News Details

Tenaga Pengawas Kesehatan dan PPNS Bidang Kesehatan: Ujung Tombak Penegakan Hukum Kesehatan

Info
dikirim pada Nov 17, 2025 12:00 AM
oleh: dr. Ruslan (PPNS BBKK Makassar)

Pendahuluan: Sinergisitas dan Profesionalisme di Pintu Gerbang Negara

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak sekali pintu masuk yang menghubungkan wilayahnya dengan dunia luar. Di antara pintu-pintu itu, Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar serta pelabuhan di beberapa tempat di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat menempati posisi yang sangat strategis, bukan hanya sebagai simpul transportasi dan perdagangan, tetapi juga sebagai garda terdepan pertahanan negara di bidang kesehatan, ekonomi, dan keamanan lintas batas. Kedua infrastruktur vital tersebut menjadi simpul utama pergerakan manusia, barang, dan logistik di kawasan Indonesia Timur, serta memainkan peran penting dalam pengawasan lalu lintas internasional.

 

Kekuatan strategis bandara dan pelabuhan di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat bukan hanya karena kapasitas fisiknya, tetapi karena fungsi sinergisnya sebagai dua simpul pengendali arus globalisasi di kawasan timur. Dalam sistem One Health yang kini menjadi prioritas nasional, kedua pintu gerbang ini memiliki peran penting dalam mendeteksi dini ancaman penyakit dari manusia, hewan, maupun lingkungan yang dapat menyebar lintas batas.

 

Makassar memiliki posisi unik sebagai pintu gerbang Indonesia Timur, di mana arus mobilitas udara dan laut sangat tinggi. Bandara Sultan Hasanuddin Makassar menjadi titik transit utama bagi jamaah umrah, pekerja migran, dan penumpang internasional. Sementara Pelabuhan Makassar melayani kapal asing, kapal kargo, serta puluhan kapal penumpang dari berbagai wilayah. Bandara dan pelabuhan adalah simbol keterbukaan dan kemajuan, tempat di mana ribuan manusia, barang, dan kendaraan lintas negara bergerak setiap hari. Di satu sisi, aktivitas ini mendorong pertumbuhan ekonomi dan konektivitas global; namun di sisi lain, ia juga menghadirkan potensi risiko kesehatan dan pelanggaran hukum. Tingginya intensitas pergerakan lintas batas menjadikan kawasan ini rentan terhadap pelanggaran hukum di bidang kekarantinaan kesehatan. Misalnya, kasus dugaan penerbitan dokumen karantina kesehatan seperti sertifikat vaksinasi palsu bagi calon jamaah umrah yang tidak divaksin, atau kapal asing yang tidak melaporkan kondisi kesehatan alat angkutnya, penumpang, serta awaknya saat berlabuh.

 

Di sinilah peran tenaga pengawas kesehatan berkolaborasi dengan PPNS Kementerian Kesehatan menjadi krusial. Mereka bukan hanya aparatur administratif, melainkan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pelanggaran pidana di bidang kesehatan, sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam situasi seperti ini, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang Kesehatan perlu bertindak cepat dan tegas dalam melakukan penyelidikan administratif, mengumpulkan bukti, memeriksa pihak terkait, hingga menyiapkan berkas perkara untuk dilimpahkan ke pengadilan apabila ditemukan unsur pidana. Semua dilakukan dalam koridor hukum dan etika, dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, profesionalitas, dan akuntabilitas publik.

 

Eksistensi Penegakan Hukum di Bidang Kekarantinaan Kesehatan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan hadir sebagai tonggak reformasi hukum di sektor kesehatan Indonesia. Selain memperkuat tata kelola sistem kesehatan nasional, undang-undang ini juga memberikan dasar hukum yang jelas terhadap tanggung jawab, kewajiban, dan sanksi pidana bagi setiap pelanggaran yang mengancam keselamatan publik. Bab XVIII undang-undang tersebut memuat ketentuan pidana, yang bukan hanya bersifat represif, tetapi juga bersifat preventif — mendorong kesadaran hukum dan tanggung jawab sosial dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan.

 

Dalam konteks hukum pidana kesehatan, setiap perbuatan hanya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur hukum tertentu. Secara umum, unsur tindak pidana dalam Undang-undang Kesehatan mencakup:

1.     Unsur subjek hukum (pelaku): dapat berupa perseorangan, tenaga kesehatan, penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan, badan hukum, atau korporasi.

2.     Unsur perbuatan: berupa tindakan yang melanggar kewajiban hukum, seperti tidak melaksanakan ketentuan perizinan, melakukan praktik tanpa kompetensi, menyalahgunakan izin, atau memalsukan dokumen kesehatan.

3.     Unsur kesalahan (mens rea): meliputi unsur kesengajaan atau kelalaian yang menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.

4.     Unsur akibat: berupa kerugian terhadap keselamatan manusia, kesehatan masyarakat, atau gangguan terhadap sistem kesehatan nasional.

5.     Unsur sanksi: dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023, sanksi pidana disusun berlapis — mulai dari pidana penjara, denda, hingga pidana tambahan seperti pencabutan izin sementara atau pencabutan izin operasional tetap.

 

Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dengan prinsip ultimum remedium, artinya penegakan hukum pidana dilakukan apabila langkah administratif dan pembinaan tidak lagi efektif. Namun, untuk pelanggaran yang berdampak langsung pada keselamatan publik, terutama pada aspek kekarantinaan dan pengendalian penyakit, pendekatan hukum pidana menjadi instrumen utama dalam menjaga keamanan kesehatan nasional.

 

Salah satu aspek paling penting dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan adalah penguatan hukum mengenai tindak pidana bidang kekarantinaan kesehatan, yang diatur secara eksplisit dalam pasal 443 sampai pasal 448. Kekarantinaan kesehatan merupakan bagian integral dari sistem pertahanan negara di bidang kesehatan masyarakat. Tujuannya adalah mencegah masuk dan keluarnya penyakit menular, vektor, atau bahan yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat lintas negara.

 

Berikut adalah hal-hal penting yang perlu diketahui dalam ketentuan tindak pidana bidang kekarantinaan kesehatan:

1.     Pasal 443 menegaskan larangan bagi nakhoda, kapten penerbang, pengemudi kendaraan darat untuk melakukan bongkar muat orang dan barang sebelum mendapat persetujuan. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan administratif kekarantinaan kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 363 ayat (3), yang mewajibkan setiap alat angkut dari luar negeri memperoleh surat persetujuan sebelum melakukan aktivitas bongkar muat orang atau barang. Unsurnya meliputi:

o   Perbuatan (actus reus): menurunkan atau menaikkan orang dan/atau barang sebelum mendapat surat persetujuan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;

o   Objek (objectum delicti): kesehatan masyarakat dan ketertiban sistem kekarantinaan kesehatan nasional;

o   Niat (mens rea): Dalam pasal ini ditunjukkan secara eksplisit melalui frasa “dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang dapat menimbulkan wabah.” Unsur ini menunjukkan bahwa pelaku harus berniat atau mengetahui akibat dari perbuatannya, bukan semata-mata lalai atau tidak tahu. Artinya, tindak pidana ini tergolong sebagai delik dolus (kejahatan dengan kesengajaan);

o   Akibat: potensi penyebaran penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang dapat menimbulkan wabah;

o   Sanksi: Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).

 

2.     Pasal 444 menegaskan larangan bagi siapa pun untuk memalsukan atau menggunakan dokumen kekarantinaan kesehatan palsu, seperti International Certificate of Vaccination or Prophylaxis (ICV) atau surat keterangan kesehatan untuk perjalanan sebagaimana diatur dalam pasal 366 ayat (1) dan (2). Unsurnya meliputi:

o   Perbuatan: membuat dan/atau menggunakan dokumen karantina kesehatan palsu;

o   Objek: dokumen karantina kesehatan;

o   Niat (mens rea): dilakukan dengan sengaja;

o   Akibat: menimbulkan potensi risiko penyebaran penyakit lintas negara;

o   Sanksi: pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

 

3.     Pasal 445 dikategorikan sebagai tindak pidana formil dengan unsur kesengajaan (dolus delict), karena perbuatan menyebarluaskan bahan penyebab penyakit sudah dianggap cukup untuk menimbulkan ancaman hukum, tanpa harus membuktikan akibat langsung. Unsurnya meliputi:

o   Perbuatan: melakukan kegiatan menyebarluaskan bahan yang mengandung penyebab penyakit dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah kesehatan. Unsur ini bersifat aktif dan konkret, artinya pelaku melakukan tindakan fisik atau operasional yang secara nyata menyebarkan atau mendistribusikan bahan biologis berbahaya, baik melalui media udara, air, tanah, produk makanan, hewan, maupun manusia;

o   Objek: kesehatan masyarakat dan keamanan biologis (biosecurity);

o   Niat (mens rea): melakukan kegiatan menyebarluaskan;

o   Akibat: menimbulkan potensi risiko penyebaran penyakit lintas negara;

o   Sanksi: pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

 

4.     Pasal 446 termasuk dalam tindak pidana di bidang kekarantinaan kesehatan dan pengendalian wabah dengan karakteristik delik formil dimana perbuatan dianggap selesai saat pelaku tidak mematuhi atau menghalangi.

o   Perbuatan: Terdapat dua bentuk perbuatan pidana dalam pasal ini, yaitu tidak mematuhi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan wabah dan/atau dengan sengaja menghalang-halangi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan wabah;

o   Objek: keselamatan dan kesehatan masyarakat dalam situasi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah;

o   Niat (mens rea): pasal ini mengandung dua bentuk mens rea, yakni kelalaian (culpa), untuk perbuatan tidak mematuhi pelaksanaan penanggulangan dan kesengajaan (dolus), untuk perbuatan menghalang-halangi;

o   Akibat: terhambatnya pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan wabah, yang berpotensi memperluas penyebaran penyakit, memperpanjang durasi KLB atau wabah, mengurangi efektivitas pengendalian penyakit, atau menimbulkan gangguan ketertiban umum dan keresahan masyarakat;

o   Sanksi: pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

5.     Pasal 447 memperberat sanksi apabila tindak pidana dalam Pasal 444, 445, 446 dilakukan oleh korporasi. Hal ini menunjukkan adanya unsur pemberatan karena pelaku memiliki kewenangan yang lebih besar untuk memerintah dan memaksa orang lain secara institusional.

6.     Pasal 448 mengatur sanksi tambahan bagi korporasi yang terlibat dalam pelanggaran pasal 444, 445, dan 446 yang dapat mengakibatkan penyebaran penyakit lintas wilayah dengan sanksi penutupan sebagian atau seluruh tempat kegiatan korporasi.

 

Keseluruhan pasal ini membentuk rantai perlindungan hukum terhadap kedaulatan kesehatan negara, menjadikan setiap pelanggaran di bidang kekarantinaan kesehatan sebagai delik serius (serious offence) yang dapat mengancam keselamatan nasional dan kepercayaan global terhadap sistem kesehatan Indonesia.

 

Kolaborasi Tenaga Pengawas Kesehatan dan PPNS Bidang Kesehatan

Kekuatan utama sistem kekarantinaan kesehatan di bandara dan pelabuhan adalah sinergi operasional antara tenaga pengawas kesehatan dan PPNS. Dalam menjalankan tugasnya, para pengawas kesehatan tidak berdiri sendiri. Mereka bersinergi erat dengan PPNS bidang Kesehatan, yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana di bidang kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2019 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Kesehatan. Sinergi antara fungsi pengawasan teknis dan penegakan hukum inilah yang menjadi pondasi kuat dalam sistem pengawasan kesehatan nasional.

 

Berdasarkan pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2019, tenaga pengawas kesehatan adalah aparatur sipil negara yang diangkat dan ditugaskan untuk melakukan pengawasan di bidang kesehatan. Mereka terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang berfungsi saling melengkapi. Kombinasi kompetensi lintas profesi ini menciptakan rantai pengawasan yang kuat dan komprehensif, mulai dari pemeriksaan kesehatan penumpang, kontrol lingkungan transportasi, hingga investigasi faktor risiko penyakit.

Dalam pasal 10 sampai Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 82 tahun 2019, setiap dugaan tindak pidana kesehatan diawali melalui proses Wasmatlitrik (pengawasan, pengamatan, penelitian, atau pemeriksaan) oleh tenaga pengawas kesehatan. Jika dari hasil Wasmatlitrik ditemukan indikasi pelanggaran hukum, maka:

1.     Tenaga pengawas atau PPNS wajib membuat Laporan Kejadian dan menyerahkannya kepada Sekretariat PPNS;

2.     Sekretariat PPNS kemudian menilai dalam gelar perkara apakah kasus tersebut laik sidik (layak untuk disidik) atau tidak;

3.     Jika laik sidik, dibentuk Tim Penyidik PPNS bidang Kesehatan untuk menindaklanjuti ke tahap penyidikan.

 

Siklus kerja kolaboratif ini memastikan terlaksananya pengawasan teknis dan penegakan hukum, di mana setiap data, temuan, dan bukti awal dari tenaga teknis menjadi dasar yang sah bagi tindakan penyelidikan hingga penyidikan.

Kegiatan pengawasan kesehatan terhadap Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat dan pertahanan kesehatan negara di pintu masuk internasional. Selama dua tahun terakhir (2024–2025), dinamika pergerakan PPLN kembali meningkat pasca-pandemi COVID-19. Bersamaan dengan itu, aktivitas pengawasan dokumen kesehatan internasional juga mengalami peningkatan signifikan, baik dari sisi volume pemeriksaan maupun temuan ketidaksesuaian dokumen yang berpotensi melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 443–448 yang mengatur tentang tindak pidana bidang kekarantinaan kesehatan.

 

Berikut rekapitulasi data pengawasan terhadap PPLN di BBKK Makassar hingga 31 Oktober 2025.

Tahun

Jumlah PPLN dalam Manifest

Jumlah Dokumen Diperiksa

Jumlah Dokumen Valid

Jumlah Dokumen Tidak Valid

Jumlah Dokumen Diduga Palsu

2024

51.740

50.674

50.329

356

42

2025

60.577

58.877

57.892

985

260

Sumber: Data Primer 2025


Dari data tersebut, terlihat adanya peningkatan signifikan pada volume pemeriksaan dan temuan pelanggaran dokumen kekarantinaan:

·       Jumlah PPLN yang diperiksa meningkat 17% dari tahun 2024 ke 2025, seiring dengan meningkatnya mobilitas PPLN.

·       Jumlah dokumen tidak valid naik hampir tiga kali lipat, dari 356 kasus menjadi 985 kasus.

·       Jumlah dokumen palsu melonjak tajam lebih dari enam kali lipat, dari 42 kasus pada tahun 2024 menjadi 260 kasus pada tahun 2025.

Data ini menunjukkan bahwa tren pelanggaran terkait dokumen karantina kesehatan mengalami peningkatan serius, yang mengindikasikan semakin ketatnya pengawasan diiringi dengan masih lemahnya kepatuhan sebagian pelaku perjalanan terhadap regulasi kekarantinaan kesehatan.

 

Dari hasil verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tenaga pengawas kesehatan (dokter, perawat, epidemiolog, sanitarian, dan entomolog), ditemukan berbagai bentuk pelanggaran administratif dan indikasi tindak pidana, antara lain:

·       Pemalsuan dokumen vaksinasi internasional (ICV) atau International Certificate of Vaccination or Prophylaxis;

·       Dokumen fisik vaksinasi yang asli tapi isinya tidak benar;

·       Kesalahan penerbitan dan pengesahan bukti vaksinasi oleh fasilitas kesehatan;

·       Dokumen yang diterbitkan oleh fasilitas kesehatan tanpa izin resmi dari Kementerian Kesehatan.

 

Pada beberapa kasus temuan tersebut menunjukkan indikasi adanya pelanggaran/tindak pidana di bidang kekarantinaan kesehatan.

 

Gambar 1. Proses verifikasi dokumen karantina kesehatan oleh tenaga pengawas Kesehatan


Tindak Lanjut dan Penindakan: Menjaga Integritas Kekarantinaan Kesehatan

Penegakan hukum sebagai wujud nyata penindakan terhadap pelanggaran di bidang kesehatan, khususnya terkait kekarantinaan kesehatan bagi PPLN, bukanlah proses yang dapat diselesaikan dalam sekali langkah. Ia adalah rangkaian upaya berkelanjutan yang menuntut keberanian, ketelitian, dan ketegasan aparat pelaksana di lapangan. Selama beberapa waktu terakhir, BBKK Makassar telah berusaha menjalankan amanat undang-undang melalui berbagai upaya tindak lanjut, baik yang bersifat administratif maupun yang mengarah pada proses penyelidikan dugaan tindak pidana.

 

Setiap dugaan pelanggaran yang ditemukan tidak berhenti pada pencatatan di atas kertas. BBKK Makassar telah mengambil langkah serius dengan melakukan pemanggilan formal dan pemeriksaan terhadap saksi serta terduga pelaku pelanggaran. Langkah ini sekaligus menegaskan bahwa mekanisme klarifikasi resmi menjadi bagian penting dalam rangkaian penyelidikan awal. Pemanggilan dan pemeriksaan dilakukan dengan tetap memegang prinsip fairness, menghormati hak pihak yang diperiksa, serta menjaga asas praduga tak bersalah. Walaupun berlangsung penuh kehati-hatian, proses ini menunjukkan kesungguhan bahwa setiap indikasi pelanggaran diperlakukan sebagai urusan serius yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

 

Dalam beberapa kasus, BBKK Makassar juga mengambil tindakan penundaan perjalanan terhadap pelaku perjalanan yang terbukti menggunakan dokumen tidak sah. Meski bukan bentuk hukuman yang bersifat final, penundaan ini merupakan langkah tegas, edukatif, sekaligus preventif. Tindakan ini memiliki dua fungsi:

1.     Melindungi negara tujuan dan negara asal dari risiko kesehatan akibat perjalanan dengan menggunakan dokumen ilegal; dan

2.     Memberikan efek jera serta pembelajaran langsung kepada pelaku agar mengurus dokumen secara benar di kemudian hari.

Meski seringkali mendapat reaksi emosional dari para pelaku, langkah ini terbukti efektif menekan angka pengulangan pelanggaran serupa.

 

Dalam situasi di mana dugaan pelanggaran tidak lagi hanya bersifat administratif, tetapi telah mengarah pada tindak pidana—khususnya pemalsuan dokumen kesehatan—BBKK Makassar bergerak lebih lanjut dengan melimpahkan berkas perkara ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulawesi Selatan. Pelimpahan ini bukan hanya sebagai bentuk kepatuhan pada kaidah hukum acara pidana, tetapi juga representasi bahwa BBKK Makassar tidak bekerja sendiri dan siap berkolaborasi dengan aparat penegak hukum lainnya. Melibatkan Polda Sulawesi Selatan menjadi langkah strategis untuk memastikan proses penanganan pidana berjalan profesional, objektif, dan sesuai prosedur hukum. Walaupun hingga saat ini belum ada satu pun kasus pelanggaran kekarantinaan kesehatan yang berlanjut sampai ke tahap persidangan, setidaknya mekanisme koordinasi dan pelimpahan perkara sudah berjalan. Ini merupakan pondasi awal pembentukan tradisi penegakan hukum kesehatan yang lebih kuat di masa mendatang.

 

Gambar 2. Proses Pemanggilan dan Pemeriksaan Saksi pada Dugaan Tindak Pidana Pemalsuan eICV


Tidak semua pelanggaran harus berujung pidana. Untuk kasus-kasus yang sifatnya kelalaian, kesalahan prosedural, atau pelanggaran administratif murni, BBKK Makassar telah menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku maupun oknum terkait. Bentuk sanksi yang diberikan pun bervariasi—mulai dari teguran tertulis, pembinaan, penekanan komitmen kepatuhan, hingga rekomendasi kepada pihak terkait untuk melakukan perbaikan prosedur. Fungsi sanksi administratif ini sangat penting, sebab bukan hanya menghukum, tetapi juga mendidik, memperbaiki, dan mencegah pengulangan pelanggaran.

 

Penegakan Hukum bidang Kesehatan: Tantangan dan Harapan

Harus diakui, pelaksanaan penindakan pelanggaran kekarantinaan kesehatan—apalagi yang mengarah ke ranah penyidikan—di lapangan jauh dari kata mudah. Banyak dinamika yang mesti dihadapi dengan kepala dingin dan semangat tetap terjaga. Dengan kondisi SDM yang terbatas, alat bantu penyelidikan yang belum memadai, serta anggaran yang belum secara spesifik dialokasikan untuk kegiatan penyelidikan dugaan tindak pidana kesehatan, menjadi tantangan tersendiri yang perlu mendapat perhatian bersama. Di satu sisi, jumlah penumpang internasional yang terus meningkat setiap tahun menuntut kualitas pengawasan yang semakin ketat dan akurat. Namun di sisi lain, jumlah tenaga pengawas kesehatan dan PPNS yang menjalankan fungsi penindakan hukum masih jauh dari ideal. Satu petugas sering kali mengerjakan pekerjaan banyak fungsi, bahkan berbagai peran sekaligus—mulai dari verifikasi dokumen, wawancara, analisis indikasi pelanggaran, pengumpulan bukti awal, hingga menyusun administrasi penyidikan dan laporan.

 

Belum lagi fakta bahwa alat pendukung penyelidikan juga belum tersedia. Misalnya, kebutuhan dasar seperti alat perekam suara dan gambar, hingga sarana penyimpanan barang bukti sering kali harus “berbagi fungsi” dengan keperluan unit lain. Kondisi ini membuat proses pengumpulan bukti awal sering mengandalkan kreativitas dan improvisasi lapangan. Dan satu hal yang cukup sering menjadi “PR besar” adalah soal anggaran. Kegiatan penyelidikan memang bukan rutinitas harian seperti pemeriksaan kesehatan atau pengawasan kapal/pesawat, sehingga alokasinya belum secara khusus dipetakan. Ketika ada kasus, proses penyelidikan terpaksa “menumpang” pada mata anggaran lain. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin hal ini menjadi hambatan untuk menyelesaikan kasus secara tuntas dan memenuhi unsur pembuktian yang kuat.

 

Di tengah segala tantangan itu, semangat para petugas untuk menjalankan tugas pengawasan dan penindakan tetap menyala. Bahkan, banyak prestasi kecil yang patut diapresiasi—misalnya, temuan dokumen tidak valid yang dapat diselesaikan secara persuasif, mencegah terjadinya pelanggaran berulang, hingga laporan-laporan yang berhasil ditangani walau dengan segala keterbatasan. Namun, kita tetap perlu realistis. Jika kita ingin mengawal amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara optimal, terutama pada aspek penegakan hukum kekarantinaan kesehatan, maka perlu ada penguatan yang tidak bisa ditunda lagi. Bukan untuk kenyamanan petugas, tetapi agar negara hadir lebih kuat dalam melindungi warganya.

 

Melalui tulisan ini, besar harapan kami agar pimpinan dan para pengambil kebijakan dapat memberikan perhatian khusus pada aspek peningkatan kapasitas penindakan di lingkungan BBKK Makassar. Bentuk dukungannya dapat berupa:

·       Penambahan SDM pengawas dan PPNS yang proporsional;

·       Pengadaan alat bantu investigasi;

·       Alokasi anggaran khusus untuk kegiatan penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana;

·       Pelatihan lanjutan bagi petugas dalam aspek investigasi, forensik dokumen, dan penegakan hukum;

·       Penguatan jejaring kolaborasi lintas instansi (Imigrasi, Kepolisian, Otoritas Bandara/Pelabuhan)

 

Dengan dukungan strategis ini, pelaksanaan penegakan hukum di bidang kesehatan dapat berjalan lebih sistematis, profesional, dan terstruktur—tanpa membebani SDM yang sudah bekerja ekstra selama ini.

 

Kita semua tahu bahwa mencegah masuknya ancaman kesehatan dari lintas negara bukan hanya urusan pemeriksaan kesehatan semata. Ada unsur edukasi, pembinaan, deteksi dini, dan ketika diperlukan, unsur penegakan hukum yang harus berjalan beriringan. Petugas di lapangan akan terus menjalankan amanah, tetapi dengan dukungan yang tepat dari pimpinan, kita bukan hanya bekerja, namun kita akan mampu membuat perubahan yang lebih berdampak. Karena pada akhirnya, kekuatan penegakan hukum kesehatan tidak hanya terletak pada aturan dan sanksi, tetapi pada keberanian untuk bertindak, meski dalam keterbatasan. Semoga langkah kecil ini menjadi awal penguatan yang lebih besar ke depan, demi kesehatan bangsa dan wibawa hukum negara.

KOMENTAR

Tinggalkan Pesan





Ada yang bisa kami bantu?