News Details
Tenaga Pengawas Kesehatan dan PPNS Bidang Kesehatan: Ujung Tombak Penegakan Hukum Kesehatan
Pendahuluan: Sinergisitas
dan Profesionalisme di Pintu Gerbang Negara
Sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak sekali pintu masuk yang
menghubungkan wilayahnya dengan dunia luar. Di antara pintu-pintu itu, Bandar
Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar serta pelabuhan di beberapa
tempat di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat menempati posisi yang sangat
strategis, bukan hanya sebagai simpul transportasi dan perdagangan, tetapi juga
sebagai garda terdepan
pertahanan negara di bidang kesehatan, ekonomi, dan keamanan lintas batas.
Kedua infrastruktur vital tersebut menjadi simpul utama pergerakan manusia,
barang, dan logistik di kawasan Indonesia Timur, serta memainkan peran penting
dalam pengawasan lalu lintas internasional.
Kekuatan strategis bandara
dan pelabuhan di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat bukan hanya karena
kapasitas fisiknya, tetapi karena fungsi sinergisnya sebagai dua simpul
pengendali arus globalisasi di kawasan timur. Dalam sistem One Health
yang kini menjadi prioritas nasional, kedua pintu gerbang ini memiliki peran
penting dalam mendeteksi dini ancaman penyakit dari manusia, hewan, maupun
lingkungan yang dapat menyebar lintas batas.
Makassar memiliki posisi
unik sebagai pintu gerbang Indonesia Timur, di mana arus mobilitas udara dan
laut sangat tinggi. Bandara Sultan Hasanuddin Makassar menjadi titik transit
utama bagi jamaah umrah, pekerja migran, dan penumpang internasional. Sementara
Pelabuhan Makassar melayani kapal asing, kapal kargo, serta puluhan kapal
penumpang dari berbagai wilayah. Bandara dan pelabuhan adalah simbol
keterbukaan dan kemajuan, tempat di mana ribuan manusia, barang, dan kendaraan
lintas negara bergerak setiap hari. Di satu sisi, aktivitas ini mendorong
pertumbuhan ekonomi dan konektivitas global; namun di sisi lain, ia juga
menghadirkan potensi risiko kesehatan dan pelanggaran hukum. Tingginya
intensitas pergerakan lintas batas menjadikan kawasan ini rentan terhadap
pelanggaran hukum di bidang kekarantinaan kesehatan. Misalnya, kasus dugaan
penerbitan dokumen karantina kesehatan seperti sertifikat vaksinasi palsu bagi
calon jamaah umrah yang tidak divaksin, atau kapal asing yang tidak melaporkan
kondisi kesehatan alat angkutnya, penumpang, serta awaknya saat berlabuh.
Di sinilah peran tenaga
pengawas kesehatan berkolaborasi dengan PPNS Kementerian Kesehatan menjadi
krusial. Mereka bukan hanya aparatur administratif, melainkan aparat penegak
hukum yang memiliki kewenangan khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap pelanggaran pidana di bidang kesehatan, sebagaimana diatur dalam pasal
6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Dalam situasi seperti ini, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang
Kesehatan perlu bertindak cepat dan tegas dalam melakukan penyelidikan
administratif, mengumpulkan bukti, memeriksa pihak terkait, hingga menyiapkan
berkas perkara untuk dilimpahkan ke pengadilan apabila ditemukan unsur pidana.
Semua dilakukan dalam koridor hukum dan etika, dengan tetap mengedepankan asas
praduga tak bersalah, profesionalitas, dan akuntabilitas publik.
Eksistensi Penegakan
Hukum di Bidang Kekarantinaan Kesehatan
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan hadir sebagai tonggak reformasi hukum di
sektor kesehatan Indonesia. Selain memperkuat tata kelola sistem kesehatan
nasional, undang-undang ini juga memberikan dasar hukum yang jelas terhadap
tanggung jawab, kewajiban, dan sanksi pidana bagi setiap pelanggaran yang
mengancam keselamatan publik. Bab XVIII undang-undang tersebut memuat ketentuan
pidana, yang bukan hanya bersifat represif, tetapi juga bersifat preventif —
mendorong kesadaran hukum dan tanggung jawab sosial dalam setiap kegiatan yang
berhubungan dengan kesehatan.
Dalam
konteks hukum pidana kesehatan, setiap perbuatan hanya dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur hukum tertentu. Secara umum,
unsur tindak pidana dalam Undang-undang Kesehatan mencakup:
1. Unsur subjek hukum (pelaku): dapat
berupa perseorangan, tenaga kesehatan, penyelenggara fasilitas pelayanan
kesehatan, badan hukum, atau korporasi.
2. Unsur perbuatan: berupa tindakan yang
melanggar kewajiban hukum, seperti tidak melaksanakan ketentuan perizinan,
melakukan praktik tanpa kompetensi, menyalahgunakan izin, atau memalsukan
dokumen kesehatan.
3. Unsur kesalahan (mens rea): meliputi
unsur kesengajaan atau kelalaian yang menimbulkan akibat yang dilarang oleh
undang-undang.
4. Unsur akibat: berupa kerugian terhadap
keselamatan manusia, kesehatan masyarakat, atau gangguan terhadap sistem
kesehatan nasional.
5. Unsur sanksi: dalam Undang-undang Nomor
17 Tahun 2023, sanksi pidana disusun berlapis — mulai dari pidana penjara,
denda, hingga pidana tambahan seperti pencabutan izin sementara atau pencabutan
izin operasional tetap.
Ketentuan
pidana dalam undang-undang ini diatur dengan prinsip ultimum remedium,
artinya penegakan hukum pidana dilakukan apabila langkah administratif dan
pembinaan tidak lagi efektif. Namun, untuk pelanggaran yang berdampak langsung
pada keselamatan publik, terutama pada aspek kekarantinaan dan pengendalian
penyakit, pendekatan hukum pidana menjadi instrumen utama dalam menjaga
keamanan kesehatan nasional.
Salah
satu aspek paling penting dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang
kesehatan adalah penguatan hukum mengenai tindak pidana bidang kekarantinaan
kesehatan, yang diatur secara eksplisit dalam pasal 443 sampai pasal 448.
Kekarantinaan kesehatan merupakan bagian integral dari sistem pertahanan negara
di bidang kesehatan masyarakat. Tujuannya adalah mencegah masuk dan keluarnya
penyakit menular, vektor, atau bahan yang berpotensi menimbulkan kedaruratan
kesehatan masyarakat lintas negara.
Berikut
adalah hal-hal penting yang perlu diketahui dalam ketentuan tindak pidana
bidang kekarantinaan kesehatan:
1.
Pasal
443 menegaskan larangan bagi nakhoda, kapten penerbang, pengemudi kendaraan
darat untuk melakukan bongkar muat orang dan barang sebelum mendapat
persetujuan. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan
administratif kekarantinaan kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 363 ayat
(3), yang mewajibkan setiap alat angkut dari luar negeri memperoleh surat
persetujuan sebelum melakukan aktivitas bongkar muat orang atau barang.
Unsurnya meliputi:
o Perbuatan (actus reus): menurunkan atau
menaikkan orang dan/atau barang sebelum mendapat surat persetujuan dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
o Objek (objectum delicti): kesehatan
masyarakat dan ketertiban sistem kekarantinaan kesehatan nasional;
o Niat (mens rea): Dalam pasal ini
ditunjukkan secara eksplisit melalui frasa “dengan maksud menyebarkan penyakit
dan/atau faktor risiko penyakit yang dapat menimbulkan wabah.” Unsur ini
menunjukkan bahwa pelaku harus berniat atau mengetahui akibat dari perbuatannya,
bukan semata-mata lalai atau tidak tahu. Artinya, tindak pidana ini tergolong
sebagai delik dolus (kejahatan dengan kesengajaan);
o Akibat: potensi penyebaran penyakit
dan/atau faktor risiko penyakit yang dapat menimbulkan wabah;
o Sanksi: Pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar
rupiah).
2.
Pasal
444 menegaskan larangan bagi siapa pun untuk memalsukan atau menggunakan
dokumen kekarantinaan kesehatan palsu, seperti International Certificate of
Vaccination or Prophylaxis (ICV) atau surat keterangan kesehatan untuk
perjalanan sebagaimana diatur dalam pasal 366 ayat (1) dan (2). Unsurnya
meliputi:
o Perbuatan: membuat dan/atau menggunakan
dokumen karantina kesehatan palsu;
o Objek: dokumen karantina kesehatan;
o Niat (mens rea): dilakukan dengan
sengaja;
o Akibat: menimbulkan potensi risiko
penyebaran penyakit lintas negara;
o Sanksi: pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
3.
Pasal
445 dikategorikan sebagai tindak pidana formil dengan unsur kesengajaan (dolus
delict), karena perbuatan menyebarluaskan bahan penyebab penyakit sudah
dianggap cukup untuk menimbulkan ancaman hukum, tanpa harus membuktikan akibat
langsung. Unsurnya meliputi:
o Perbuatan: melakukan kegiatan
menyebarluaskan bahan yang mengandung penyebab penyakit dan/atau agen biologi
penyebab penyakit dan masalah kesehatan. Unsur ini bersifat aktif dan konkret,
artinya pelaku melakukan tindakan fisik atau operasional yang secara nyata
menyebarkan atau mendistribusikan bahan biologis berbahaya, baik melalui media
udara, air, tanah, produk makanan, hewan, maupun manusia;
o Objek: kesehatan masyarakat dan keamanan
biologis (biosecurity);
o Niat (mens rea): melakukan kegiatan
menyebarluaskan;
o Akibat: menimbulkan potensi risiko
penyebaran penyakit lintas negara;
o Sanksi: pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
4.
Pasal
446 termasuk dalam tindak pidana di bidang kekarantinaan kesehatan dan
pengendalian wabah dengan karakteristik delik formil dimana perbuatan dianggap
selesai saat pelaku tidak mematuhi atau menghalangi.
o Perbuatan: Terdapat dua bentuk perbuatan
pidana dalam pasal ini, yaitu tidak mematuhi pelaksanaan upaya penanggulangan
KLB dan wabah dan/atau dengan sengaja menghalang-halangi pelaksanaan upaya
penanggulangan KLB dan wabah;
o Objek: keselamatan dan kesehatan
masyarakat dalam situasi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah;
o Niat (mens rea): pasal ini mengandung
dua bentuk mens rea, yakni kelalaian (culpa), untuk perbuatan tidak
mematuhi pelaksanaan penanggulangan dan kesengajaan (dolus), untuk
perbuatan menghalang-halangi;
o Akibat: terhambatnya pelaksanaan upaya
penanggulangan KLB dan wabah, yang berpotensi memperluas penyebaran penyakit,
memperpanjang durasi KLB atau wabah, mengurangi efektivitas pengendalian
penyakit, atau menimbulkan gangguan ketertiban umum dan keresahan masyarakat;
o Sanksi: pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
5.
Pasal
447 memperberat sanksi apabila tindak pidana dalam Pasal 444, 445, 446
dilakukan oleh korporasi. Hal ini menunjukkan adanya unsur pemberatan karena
pelaku memiliki kewenangan yang lebih besar untuk memerintah dan memaksa orang
lain secara institusional.
6.
Pasal
448 mengatur sanksi tambahan bagi korporasi yang terlibat dalam pelanggaran
pasal 444, 445, dan 446 yang dapat mengakibatkan penyebaran penyakit lintas
wilayah dengan sanksi penutupan sebagian atau seluruh tempat kegiatan
korporasi.
Keseluruhan
pasal ini membentuk rantai perlindungan hukum terhadap kedaulatan kesehatan
negara, menjadikan setiap pelanggaran di bidang kekarantinaan kesehatan sebagai
delik serius (serious offence) yang dapat mengancam keselamatan nasional
dan kepercayaan global terhadap sistem kesehatan Indonesia.
Kolaborasi Tenaga
Pengawas Kesehatan dan PPNS Bidang Kesehatan
Kekuatan
utama sistem kekarantinaan kesehatan di bandara dan pelabuhan adalah sinergi
operasional antara tenaga pengawas kesehatan dan PPNS. Dalam menjalankan
tugasnya, para pengawas kesehatan tidak berdiri sendiri. Mereka bersinergi erat
dengan PPNS bidang Kesehatan, yang berwenang melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap dugaan tindak pidana di bidang kesehatan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 82 Tahun 2019 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang
Kesehatan. Sinergi antara fungsi pengawasan teknis dan penegakan hukum inilah
yang menjadi pondasi kuat dalam sistem pengawasan kesehatan nasional.
Berdasarkan
pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2019, tenaga
pengawas kesehatan adalah aparatur sipil negara yang diangkat dan ditugaskan
untuk melakukan pengawasan di bidang kesehatan. Mereka terdiri dari berbagai
disiplin ilmu yang berfungsi saling melengkapi. Kombinasi kompetensi lintas
profesi ini menciptakan rantai pengawasan yang kuat dan komprehensif, mulai
dari pemeriksaan kesehatan penumpang, kontrol lingkungan transportasi, hingga
investigasi faktor risiko penyakit.
Dalam
pasal 10 sampai Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 82 tahun 2019,
setiap dugaan tindak pidana kesehatan diawali melalui proses Wasmatlitrik
(pengawasan, pengamatan, penelitian, atau pemeriksaan) oleh tenaga pengawas
kesehatan. Jika dari hasil Wasmatlitrik ditemukan indikasi pelanggaran hukum,
maka:
1.
Tenaga
pengawas atau PPNS wajib membuat Laporan Kejadian dan menyerahkannya kepada
Sekretariat PPNS;
2.
Sekretariat
PPNS kemudian menilai dalam gelar perkara apakah kasus tersebut laik sidik
(layak untuk disidik) atau tidak;
3.
Jika
laik sidik, dibentuk Tim Penyidik PPNS bidang Kesehatan untuk menindaklanjuti
ke tahap penyidikan.
Siklus
kerja kolaboratif ini memastikan terlaksananya pengawasan teknis dan penegakan
hukum, di mana setiap data, temuan, dan bukti awal dari tenaga teknis menjadi
dasar yang sah bagi tindakan penyelidikan hingga penyidikan.
Kegiatan
pengawasan kesehatan terhadap Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat dan pertahanan kesehatan
negara di pintu masuk internasional. Selama dua tahun terakhir (2024–2025),
dinamika pergerakan PPLN kembali meningkat pasca-pandemi COVID-19. Bersamaan
dengan itu, aktivitas pengawasan dokumen kesehatan internasional juga mengalami
peningkatan signifikan, baik dari sisi volume pemeriksaan maupun temuan
ketidaksesuaian dokumen yang berpotensi melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 443–448 yang mengatur tentang
tindak pidana bidang kekarantinaan kesehatan.
Berikut
rekapitulasi data pengawasan terhadap PPLN di BBKK Makassar hingga 31 Oktober
2025.
|
Tahun |
Jumlah PPLN dalam Manifest |
Jumlah Dokumen Diperiksa |
Jumlah Dokumen Valid |
Jumlah Dokumen Tidak Valid |
Jumlah Dokumen Diduga Palsu |
|
2024 |
51.740 |
50.674 |
50.329 |
356 |
42 |
|
2025 |
60.577 |
58.877 |
57.892 |
985 |
260 |
Sumber: Data Primer 2025
Dari data tersebut, terlihat
adanya peningkatan signifikan pada volume pemeriksaan dan temuan pelanggaran
dokumen kekarantinaan:
· Jumlah PPLN yang diperiksa meningkat 17%
dari tahun 2024 ke 2025, seiring dengan meningkatnya mobilitas PPLN.
· Jumlah dokumen tidak valid naik hampir
tiga kali lipat, dari 356 kasus menjadi 985 kasus.
· Jumlah dokumen palsu melonjak tajam
lebih dari enam kali lipat, dari 42 kasus pada tahun 2024 menjadi 260 kasus
pada tahun 2025.
Data ini menunjukkan bahwa
tren pelanggaran terkait dokumen karantina kesehatan mengalami peningkatan
serius, yang mengindikasikan semakin ketatnya pengawasan diiringi dengan masih
lemahnya kepatuhan sebagian pelaku perjalanan terhadap regulasi kekarantinaan
kesehatan.
Dari hasil verifikasi
dokumen yang dilakukan oleh tenaga pengawas kesehatan (dokter, perawat,
epidemiolog, sanitarian, dan entomolog), ditemukan berbagai bentuk pelanggaran
administratif dan indikasi tindak pidana, antara lain:
· Pemalsuan dokumen vaksinasi
internasional (ICV) atau International Certificate of Vaccination or
Prophylaxis;
· Dokumen fisik vaksinasi yang asli tapi
isinya tidak benar;
· Kesalahan penerbitan dan pengesahan
bukti vaksinasi oleh fasilitas kesehatan;
· Dokumen yang diterbitkan oleh fasilitas
kesehatan tanpa izin resmi dari Kementerian Kesehatan.
Pada beberapa kasus temuan
tersebut menunjukkan indikasi adanya pelanggaran/tindak pidana di bidang
kekarantinaan kesehatan.
Gambar 1. Proses verifikasi dokumen karantina kesehatan oleh tenaga pengawas Kesehatan
Tindak Lanjut dan
Penindakan: Menjaga Integritas Kekarantinaan Kesehatan
Penegakan hukum sebagai
wujud nyata penindakan terhadap pelanggaran di bidang kesehatan, khususnya
terkait kekarantinaan kesehatan bagi PPLN, bukanlah proses yang dapat
diselesaikan dalam sekali langkah. Ia adalah rangkaian upaya berkelanjutan yang
menuntut keberanian, ketelitian, dan ketegasan aparat pelaksana di lapangan.
Selama beberapa waktu terakhir, BBKK Makassar telah berusaha menjalankan amanat
undang-undang melalui berbagai upaya tindak lanjut, baik yang bersifat
administratif maupun yang mengarah pada proses penyelidikan dugaan tindak
pidana.
Setiap dugaan pelanggaran
yang ditemukan tidak berhenti pada pencatatan di atas kertas. BBKK Makassar
telah mengambil langkah serius dengan melakukan pemanggilan formal dan
pemeriksaan terhadap saksi serta terduga pelaku pelanggaran. Langkah ini
sekaligus menegaskan bahwa mekanisme klarifikasi resmi menjadi bagian penting
dalam rangkaian penyelidikan awal. Pemanggilan dan pemeriksaan dilakukan dengan
tetap memegang prinsip fairness, menghormati hak pihak yang diperiksa,
serta menjaga asas praduga tak bersalah. Walaupun berlangsung penuh
kehati-hatian, proses ini menunjukkan kesungguhan bahwa setiap indikasi
pelanggaran diperlakukan sebagai urusan serius yang tidak bisa diabaikan begitu
saja.
Dalam beberapa kasus, BBKK
Makassar juga mengambil tindakan penundaan perjalanan terhadap pelaku
perjalanan yang terbukti menggunakan dokumen tidak sah. Meski bukan bentuk
hukuman yang bersifat final, penundaan ini merupakan langkah tegas, edukatif,
sekaligus preventif. Tindakan ini memiliki dua fungsi:
1. Melindungi negara tujuan dan negara asal
dari risiko kesehatan akibat perjalanan dengan menggunakan dokumen ilegal; dan
2. Memberikan efek jera serta pembelajaran
langsung kepada pelaku agar mengurus dokumen secara benar di kemudian hari.
Meski seringkali mendapat
reaksi emosional dari para pelaku, langkah ini terbukti efektif menekan angka
pengulangan pelanggaran serupa.
Dalam situasi di mana dugaan
pelanggaran tidak lagi hanya bersifat administratif, tetapi telah mengarah pada
tindak pidana—khususnya pemalsuan dokumen kesehatan—BBKK Makassar bergerak
lebih lanjut dengan melimpahkan berkas perkara ke Direktorat Reserse Kriminal
Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulawesi Selatan. Pelimpahan ini bukan hanya
sebagai bentuk kepatuhan pada kaidah hukum acara pidana, tetapi juga
representasi bahwa BBKK Makassar tidak bekerja sendiri dan siap berkolaborasi
dengan aparat penegak hukum lainnya. Melibatkan Polda Sulawesi Selatan menjadi
langkah strategis untuk memastikan proses penanganan pidana berjalan
profesional, objektif, dan sesuai prosedur hukum. Walaupun hingga saat ini
belum ada satu pun kasus pelanggaran kekarantinaan kesehatan yang berlanjut
sampai ke tahap persidangan, setidaknya mekanisme koordinasi dan pelimpahan
perkara sudah berjalan. Ini merupakan pondasi awal pembentukan tradisi
penegakan hukum kesehatan yang lebih kuat di masa mendatang.
Gambar 2. Proses Pemanggilan dan Pemeriksaan Saksi pada Dugaan Tindak Pidana Pemalsuan eICV
Tidak semua pelanggaran
harus berujung pidana. Untuk kasus-kasus yang sifatnya kelalaian, kesalahan
prosedural, atau pelanggaran administratif murni, BBKK Makassar telah
menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku maupun oknum terkait. Bentuk
sanksi yang diberikan pun bervariasi—mulai dari teguran tertulis, pembinaan,
penekanan komitmen kepatuhan, hingga rekomendasi kepada pihak terkait untuk
melakukan perbaikan prosedur. Fungsi sanksi administratif ini sangat penting,
sebab bukan hanya menghukum, tetapi juga mendidik, memperbaiki, dan mencegah
pengulangan pelanggaran.
Penegakan Hukum bidang
Kesehatan: Tantangan dan Harapan
Harus diakui, pelaksanaan
penindakan pelanggaran kekarantinaan kesehatan—apalagi yang mengarah ke ranah
penyidikan—di lapangan jauh dari kata mudah. Banyak dinamika yang mesti
dihadapi dengan kepala dingin dan semangat tetap terjaga. Dengan kondisi SDM yang
terbatas, alat bantu penyelidikan yang belum memadai, serta anggaran yang belum
secara spesifik dialokasikan untuk kegiatan penyelidikan dugaan tindak pidana
kesehatan, menjadi tantangan tersendiri yang perlu mendapat perhatian bersama.
Di satu sisi, jumlah penumpang internasional yang terus meningkat setiap tahun
menuntut kualitas pengawasan yang semakin ketat dan akurat. Namun di sisi lain,
jumlah tenaga pengawas kesehatan dan PPNS yang menjalankan fungsi penindakan
hukum masih jauh dari ideal. Satu petugas sering kali mengerjakan pekerjaan
banyak fungsi, bahkan berbagai peran sekaligus—mulai dari verifikasi dokumen,
wawancara, analisis indikasi pelanggaran, pengumpulan bukti awal, hingga
menyusun administrasi penyidikan dan laporan.
Belum lagi fakta bahwa alat
pendukung penyelidikan juga belum tersedia. Misalnya, kebutuhan dasar seperti
alat perekam suara dan gambar, hingga sarana penyimpanan barang bukti sering
kali harus “berbagi fungsi” dengan keperluan unit lain. Kondisi ini membuat
proses pengumpulan bukti awal sering mengandalkan kreativitas dan improvisasi
lapangan. Dan satu hal yang cukup sering menjadi “PR besar” adalah soal
anggaran. Kegiatan penyelidikan memang bukan rutinitas harian seperti
pemeriksaan kesehatan atau pengawasan kapal/pesawat, sehingga alokasinya belum
secara khusus dipetakan. Ketika ada kasus, proses penyelidikan terpaksa
“menumpang” pada mata anggaran lain. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin hal
ini menjadi hambatan untuk menyelesaikan kasus secara tuntas dan memenuhi unsur
pembuktian yang kuat.
Di tengah segala tantangan
itu, semangat para petugas untuk menjalankan tugas pengawasan dan penindakan
tetap menyala. Bahkan, banyak prestasi kecil yang patut diapresiasi—misalnya,
temuan dokumen tidak valid yang dapat diselesaikan secara persuasif, mencegah
terjadinya pelanggaran berulang, hingga laporan-laporan yang berhasil ditangani
walau dengan segala keterbatasan. Namun, kita tetap perlu realistis. Jika kita
ingin mengawal amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
secara optimal, terutama pada aspek penegakan hukum kekarantinaan kesehatan,
maka perlu ada penguatan yang tidak bisa ditunda lagi. Bukan untuk kenyamanan
petugas, tetapi agar negara hadir lebih kuat dalam melindungi warganya.
Melalui tulisan ini, besar
harapan kami agar pimpinan dan para pengambil kebijakan dapat memberikan
perhatian khusus pada aspek peningkatan kapasitas penindakan di lingkungan BBKK
Makassar. Bentuk dukungannya dapat berupa:
·
Penambahan
SDM pengawas dan PPNS yang proporsional;
·
Pengadaan
alat bantu investigasi;
·
Alokasi
anggaran khusus untuk kegiatan penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak
pidana;
·
Pelatihan
lanjutan bagi petugas dalam aspek investigasi, forensik dokumen, dan penegakan
hukum;
·
Penguatan
jejaring kolaborasi lintas instansi (Imigrasi, Kepolisian, Otoritas
Bandara/Pelabuhan)
Dengan dukungan strategis
ini, pelaksanaan penegakan hukum di bidang kesehatan dapat berjalan lebih
sistematis, profesional, dan terstruktur—tanpa membebani SDM yang sudah bekerja
ekstra selama ini.
Kita semua tahu bahwa mencegah masuknya ancaman kesehatan dari lintas negara bukan hanya urusan pemeriksaan kesehatan semata. Ada unsur edukasi, pembinaan, deteksi dini, dan ketika diperlukan, unsur penegakan hukum yang harus berjalan beriringan. Petugas di lapangan akan terus menjalankan amanah, tetapi dengan dukungan yang tepat dari pimpinan, kita bukan hanya bekerja, namun kita akan mampu membuat perubahan yang lebih berdampak. Karena pada akhirnya, kekuatan penegakan hukum kesehatan tidak hanya terletak pada aturan dan sanksi, tetapi pada keberanian untuk bertindak, meski dalam keterbatasan. Semoga langkah kecil ini menjadi awal penguatan yang lebih besar ke depan, demi kesehatan bangsa dan wibawa hukum negara.
Latest Artikel
- Gambaran Surveilans Sentinel Influenza Like Illness (ILI) di Balai Besar Kekarantinaan Kesehatan Makassar Tahun 2024 s.d. Oktober 2025
- 30 Menit Cukup untuk Turunkan Lemak?
- Tenaga Pengawas Kesehatan dan PPNS Bidang Kesehatan: Ujung Tombak Penegakan Hukum Kesehatan
- Penyelenggaraan Layanan Publik terhadap Kelompok Rentan / Penyandang Disabilitas di BBKK Makassar
- Evaluasi Sistem Surveilans Sentinel Influenza Like Illness (ILI) di Balai Besar Kekarantinaan Kesehatan Makassar Tahun 2025